Rabu, 18 Desember 2013

Artikel

Contoh Artikel Pendidikan

contoh artikel pendidikan
Sedikit berbeda dengan beberapa artikel sebelumnya, kali ini kita akan sedikit mengurai tentang artikel pendidikan (artikel pendek). Seperti yang kita ketahui ada banyak sekali bentuk artikel, dan salah satu diantaranya adalah artikel pendidikan.
Pendidikan adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih baik dengan memperjuangkan hal-hal terkecil hingga hal-hal terbesar yang normalnya akan dilewati oleh setiap manusia. Pendidikan adalah bekal untuk mengejar semua yang ditargetkan oleh seseorang dalam kehidupannya sehingga tanpa pendidikan, maka logikanya semua yang diimpikannya akan menjadi sangat sulit untuk dapat diwujudkan.
Faktanya, memang tidak semua orang yang berpendidikan sukses dalam perjalanan hidupnya, tetapi jika dilakukan perbandingan maka orang yang berpendidikan tetap jauh lebih banyak yang bisa mengecap kesuksesan daripada orang yang tidak pernah mengecap pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan adalah alat untuk mengembangkan diri, mental, pola pikir dan juga kualitas diri seseorang.
Jika orang yang sudah dibekali ilmu saja terbukti masih ada atau bahkan banyak yang mengalami kegagalan, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak dibekali ilmu sama sekali? Logikanya sudah pasti mereka akan lebih kesulitan dalam mengembangkan hal-hal yang diminatinya dengan tujuan untuk mendapatkan level kehidupan yang lebih baik. Proses hidup membutuhkan teori, dan dengan pendidikan lah teori tersebut bisa didapatkan.
Jangan meyakini opini sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Apa pun alasannya, setiap orang tetap membutuhkan pendidikan. Meskipun pendidikan tidak menjamin kesuksesan seseorang, namun pendidikan akan membekali anda kualitas diri yang lebih baik sehingga anda akan lebih berpeluang untuk mendapatkan apa yang anda cita-citakan. Pendidikan merupakan alat terpenting untuk merealisasikan semua impian anda.

Pendidikan adalah prioritas untuk menjuju kearah yang lebih baik, dan masa depan yang lebih layak buat Anda.

Contoh Artikel Kesehatan tentang Sayuran Sehat

Contoh Artikel Kesehatan. Sebagai contohnya, berikut 6 jenis sayuran dan buah yang membahayakan dalam kondisi tertentu. Yang pertama adalah bayam. Bayam kerap dijuluki sebagai rajanya sayuran. Hal itu tidak mengherankan karena bayam mempunyai kandungan zat besi yang berlimpah. Zat besi sendiri sangat diperlukan tubuh untuk kesehatan darah. Selain zat besi bayam juga mengandung  vitamin dan mineral seperti natrium, kalium dan lain sebagainya. Tetapi agar mengkonsumsi bayam sarat khasiat,  maka perlu diperhatikan bagaimana cara mengolahnya.
Menyimpan bayam terlalu lama di lemari es jelas tidak dianjurkan. Hal itu bisa menyebabkan kadar nitritnya semakin tinggi. Dalam 2 minggu saja kadar nitritnya akan meningkat sampai 300 mg/kg. Sebagai perbandingan, bayam segar yang baru dicabut saja sudah mengandung senyawa nitrit kurang lebih 5 mg/kg.
Dalam Contoh Artikel Kesehatan, Nitrit adalah senyawa yang  tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat racun bagi tubuh manusia. Nitrit bila bereaksi dengan zat besi pada sel darah merah bisa berbahaya. Hal itu menimbulkan kesulitan pada hemoglobin untuk mengikat oksigen.
Bayam juga wajib dicuci sebelum dimasak. Hal itu berguna untuk menghindari kandungan pestisida dan torch yang masih menempel pada daun atau batangnya. Juga jangan memasak bayam menggunakan panci alumunium. Hal itu bisa berbahaya. Zat besi kalau bereaksi dengan alumunium bisa menghasilkan racun  juga.
Dalam memasak bayam pun tidak boleh terlalu lama. Apalagi kalau dipanaskan berulang-ulang. Juga jangan mengkonsumsi bayam lebih dari 5 jam sejak dimasak. Mengkonsumsi bayam yang baik adalah sesaat setelah dimasak. Jadi jangan sampai yang tadinya mengharapkan khasiat, yang terjadi justru menjadi racun bagi tubuh kita.
Nah dalam Contoh Artikel Kesehatan, kalau bayam lebih memperhatikan pada proses penyajiannya, berbeda dengan durian dan bawang putih. Pada kedua tanaman itu akan berbahaya kalau mengkonsumsinya secara over dosis. Durian misalnya, pada setiap 100 gramnya mengandung  antara 120-180 kalori. Tentu saja akan terjadi ledakan energi instan yang dahsyat saat Anda mengkonsumsi sekurangnya 4 buah durian. Dan ini tentu saja akan sangat berbahaya bagi ibu hamil, penderita hipertensi, penyakit jantung dan diabetes. Juga jangan sekali-kali mencoba mengkonsumsi durian bersamaan dengan minuman beralkohol. Hal itu sangat berbahaya sebab bisa menimbulkan kematian.
Lain durian lain pula bawang putih. Umbi yang satu ini mempunyai banyak khasiat. Selain digunakan sebagai bumbu dapur, ekstraknya ternyata terbukti menunda kerut-kerut di wajah dan tubuh pada wanita usia kepala empat. Selain itu mengandung antikolesterol sehingga dapat mencegah serangan jantung.
Contoh Artikel Kesehatan
Contoh Artikel Kesehatan
Tetapi hati-hatilah jika mengkonsumsi bawang putih dalam keadaan mentah. Jangan terlalu banyak. Cukup seujung jari sehari. Karena jika terlalu banyak akan menyebabkan kekurangan butir darah merah. Pun dalam satu hari, dilarang mengkonsumsi bawang putih lebih dari tiga siung karena akan mengakibatkan diare, demam, bahkan menimbulkan pendarahan lambung.
Selanjutnya dalam Contoh Artikel Kesehatan adalah buah dan sayur yang menjadi pantangan bagi ibu hamil. Sebut saja pare, nanas dan  pepaya muda. Sayur pare dan pepaya muda diindikasikan bisa menyebabkan keguguran pada ibu hamil. Kandungan  papain  enzim proteolitik yang terdapat di dalamnya bisa menginduksi  terjadi keguguran. Selain itu pepaya muda mengandung  carpain, sejenis alkaloid yang berbahaya bila dikonsumsi oleh ibu hamil dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi bagi ibu hamil penggemar pepaya muda, tidak perlu terlalu khawatir juga. Pepaya muda bisa saja aman dikonsumsi bila diolah atau dimasak terlebih dahulu.
Dan inilah buah nanas. Ia berfungsi sebagai antioksidan karena kandungan vitamin A dan C-nya tinggi. Nanas juga mengandung kalsium, fosfor, magnesium, besi, natrium, kalium, dekstrosa, sukrosa, dan enzim bromelain. Enzim ini berkhasiat sebagai anti radang, membantu melunakkan makanan di lambung, serta menghambat pertumbuhan sel kanker. Kandungan seratnya dapat mempermudah buang air besar pada penderita sembelit.
Tetapi ternyata nanas juga dapat menggugurkan kandungan. Makanya perempuan hamil dilarang memakan buah satu ini. Selain itu nanas juga bisa memicu rematik. Kadar gula yang cukup tinggi pada nanas disinyalir juga dapat meningkatkan kadar gula darah. Jadi para penderita diabetes sebaiknya tidak berlebihan mengkonsumsi buah ini.
Nanas pun mempunyai efek tidak menyenangkan setelah kita mengkonsumsinya. Mulut dan lidah akan terasa gatal.  Tetapi menghindari hal itu gampang kok. Rendamlah nanas dalam air garam sebelum dimakan.
Demikianlah Contoh Artikel Kesehatan tentang beberapa sayur dan buah yang pantas dijadikan perhatian karena selain menguntungkan bisa juga membahayakan tubuh kita kalau kita  tidak tahu aturannya.
  ARTIKEL TENTANG PENGUSAHA SUKSES
Pemimpin Kaum, Pemimpin Daerah dan Pemimpin Negara
Artikel Budaya http://padang-today.com/img/ar.gif Rabu, 13/05/2009 - 14:03 WIB http://padang-today.com/img/ar.gif Oleh : H. St. Zaili Asril* http://padang-today.com/img/ar.gif 583 klik
“Pemimpin itu, Yuang, tak selalu jadi penghulu atau sebaliknya penghulu tak otomatis seorang pemimpin. Penghulu pemegang amanah/diberi amanah kaum — seperti suku Sikumbang Dt. Tumbijo. Ia didahulukan selangkah/ditinggikan srantingkaum. Yang diberi amanah/pemegang amanah adalah orang yang melaksanakan. Bukan yang berkuasa/memerintah. Pemimpin tidak harus jadi penghulu. Idealnya, Yuang, seorang penghulu juga seorang pemimpin, “ kata Idris gelar Magek, suatu sore ba’da Ashar di Surau Kiambang, sekitar tahun 1976, menjelang pemilihan umum (Pemilu) 1977.

masih seorang mahasiswa tahun ke-3 di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (Faktar IAIN) Imam Bonjol Padang di kampus Jalan Sudirman Padang. Karena jarak antara kampungnya dan kota Padang yang relatif dekat, hampir setiap pekan ia pulang kampung. Setiap pulang kampung, Cucu Magek Dirih akan mencari dan “memaksa” inyiaknya, Idris Magek, menjawab beberapa pertanyaannya. Magek Dirih — begitu orang sekampung dan senagari memanggil Idris gelar Magek — pula kelihatan cukup bersenang hati mendengarkan dan menjawab pertanyaan cucunya itu.

Cucu mengetahui, inyiaknya, Magek Dirih, seorang yang memiliki pengetahuan — walau ia tidak tamat sekolah dasar masa penjajahan Belanda. Wawasannya luas. Memiliki kecermatan dan kearifan. Bahkan, Cucu pun sering dikejutkan kemampuan inyiaknya yang mampu memandang jauh ke depan, dan melihat apa-apa yang belum terlihat orang kebanyakan dalam kaumnya. Inyiak Magek Dirih juga sangat sabar dan mau mendenar cericau/bertumpuk pertanyaan dari cucunya. Bilamana cucunya kembali dari Padang, Magek sudah tahu ada banyak pertanyaan yang berseliweran dalam benak cucu tersebut. Biasanya, kalau Magek Dirih sedang bekerja di sawah di belakang surau, maka ia akan berlepas rangah dan melayani kicauan cucunya.

Menjelang sore itu, inyiak dan cucu berjalan beriringan di pematang tebat ikan di belakang surau. Magek berjalan menuju ke pincuran, hendak membersihkan lumpur dari kedua tangan dan kakinya. “Lalu, apa pula perbedaan penghulu dengan pemimpin, Nyiak?” sergah Cucu, yang penasaran atas pernyataan inyiaknya yang mengatakan, seorang penghulu tidak serta merta (jadi) seorang pemimpin.

Magek Dirih berhenti melangkah. Ia memutar tubuhnya, dan berhadapan dengan cucunya. Kedua mata tuanya memandang nanar ke kedua mata Cucunya. “Pemimpin dalam kaum kita, adalah di antara warga kita yang dituakan. Ia dipandang dan dihormati serta diharapkan, oleh warga di lingkungan kaum karena memiliki pengetahuan. Karena ia mempunyai wawasan yang luas. Karena ia memiliki kearifan. Karena ia mampu melihat jauh ke depan — melihat apa yang belum terlihat oleh warga. Pendapatnya berdengar, diperhitungkan, dan berpengaruh kuat, terhadap warga lingkungannya. Bahkan, penghulu pun memandangnya. Menghormatinya. Mengharapkannya. Pengaruhnya bukan karena ia berkuasa/karena memerintah, tapi, karena kekuatan yang ada dalam dirinya,” kata Magek Dirih.

“Bagaimana dan apa bedanya dengan bupati, atau walikota, atau gubernur, atau presiden, NYiak?”

Magek memegang kedua bahu cucunya. “Kalau soal itu, saya tak tahu. Kamu mungkin lebih tahu. Bagi saya, ada orang yang memerintah karena ia berkuasa. Terkadang ia lebih menampilkan kekuasaan melalui perintah-perintah — orang banyak harus patuh padanya karena ia punya kekuasaan/karena ia memerintah. Belum tentu ia dipandang, dihormati, dan diharapkan. Mana tahu, karena ia tidak memiliki pengetahuan/kecerdasan, wawasan, dan kearifan yang cukup. Siapa pun ia, Yuang, masih memerlukan pertolongan orang lain yang memiliki pengetahuan/kecerdasan, wawasan, dan kearifan. Orang yang jadi pejabat negara, tidak otomatis seorang pemimpin. Kita mengharapkan pejabat pemerintah juga seorang pemimpin.”

SUATU sore yang lain, menjelang pemilu 1977, inyiak dan cucu itu kembali terlihat berdialog di surau Kiambang. Cucu mendiskusikan inyiaknya tentang demokrasi dalam adat dan Islam.

“Demokrasi? Benda apa itu, Yuang,” Kini Idris Magek yang bertanya dengan jidat berkerut. Kelihatan ia benar tak mengerti kata yang disebut cucunya. Cucunya itu sudah jadi mahasiswa tahun terakhir di Padang.

“Demokrasi itu, Nyiak, antara lain rakyat memilih pemimpinnya. Bisa jadi secara bertingkat, dan atau bisa jadi secara langsung!” kata Cucu kepada inyiaknya setengah tidak yakin dengan penjelasannya.

Kening inyiak Magek Dirih kembali mengerut. Kelihatan mencoba melulur kalimat cucunya itu. “Lalu, siapa rakyat itu, Yuang?”

Kini Cucu Magek Dirih yang mengerenyitkan jidatnya. “Rakyat itu, Nyiak, ya, seperti kaum warga Sikumbang ini, misalnya. Ya, semua warga.. “

Magek kelihatan mengangguk-angguk. Lelaki menjelang tua beretelanjang dada itu duduk bersandar ke dinding surau. Baju buba-nya setengah tergulung dikibas-kibaskan ke dadanya. Satu kaki kanannya ditekuk lulutnya. Siku tangan kanannya tertahan di atas lututnya. Lelaki yang tengah melepas lelah sehabis bagarak di sawah di belakang surau itu duduk dengan panggul kiri sehingga badannya yang bersadar ke dinding kelihatan agak miring ke kiri.

“Jadi, macam warga kaum kita memilih sendiri siapa yang akan menjadi penghulu? Datuk tua dan lebai... Bagaimana mereka tahu siapa di antara mereka yang patut menjadi penghulu, menjadi datuk tua, menjadi lebai?”

Cucu Magek Dirih teriam sejenak. Ia tidak segera mampu menjelaskan. Magek kembali meneruskan keingintahuannya.

“Bukan di antara warga kaum ada yang laki-laki dan perempuan. Ada yang berusia tua, sedang baya, dan yang masih kecil. Mereka semua yang memilih siapa yang akan menjadi penghulu, menjadi datuak tua, dan menjadi lebai. Apa tak mungkin mereka salah pilih. Memilih karena suka belaka!?”

“Ya, begitulah maksudnya, Nyiak!”

LALU Magek Dirih mengubah duduknya menjadi bersila sambil masih tetap bersandar ke dinding surau. Tangan kirinya sesekali masih mengibas-ngibaskan baju bubanya. Orang tua itu kelihatan lapang dan berusaha mengerti apa yang dikatakan cucunya. Pada dasarnya, ia tetap belum mengerti.

“Dalam kaum kita, Yuang, perempuan tidak menentukan siapa menjadi penghulu, menjadi datuak tua, menjadi lebai... Selama ini, yang menentukan siapa yang akan jadi penghulu, menjadi datuk tua, menjadi lebai bukan semua warga. Sebab, belum tentu kaum perempuan mengerti. Katakan karena bukan urusan mereka. Menjadi penghulu, menjadi datuk tua, menjadi lebai, itu urusan lelaki. Lagi pula, yang muda belum tentu tahu. Mereka belum sepenuhnya mengerti.

Pertimbangan mereka belum diperhitungkan. Yang dilakukan kaum lelaki dewasa kita adalah bermusyawarah.”

Cucu Magek Dirih sudah tahu dengan apa yang dijelaskan inyiaknya.”Soal siapa akan jadi penghulu, jadi datuk tua, jadi lebai, akan dipercayakan ada siapa yang memang layak untuk jabatan-jabatan itu. Pada kaum kita, siapa akan jadi penghulu, jadi datuk tua, jadi lebai, adalah kesepakatan. Sebab, bukan siapa yang jadi penghulu, datuk tua, dan lebai, itu menjadi pemimpin karena dirinya sendiri, tapi, karena sepakat bersama. Mereka hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Mereka bukan berkuasa/memerintah, tapi, menjalankan apa yang disepakati,” jelas Magek Dirih.

Bagian yang ditambahkan Magek Dirih itu pun sudah diketahui Cucu Magek Dirih.

“Jadi, saya kira, kalau semua warga memilih... Bagaimana pula caranya. Berarti tiap orang memilih. Padahal tidak setiap orang mengerti dan paham. Nanti, yang terpilih bisa saja yang tidak layak. Apalagi kalau ada pula yang mempengaruhi warga agar memilih dirinya. Pertimbangan warga kaum dalam meilih bisa jadi salah atau keliru.

Saya kira, semua orang memilih itu belum tentu sesuai diterapkan untuk kaum kita,” Magek menambahkan. Ia kelihatan agak gamang.
“Kalau diterapkan dalam kaum kita, mUngkin benar, Inyiak. Yang saya maksud, untuk menentukan siapa yang akan jadi presiden negara kita, siapa yang akan menjadi perwakilan kita di parlemen, seperti yang saya sebut tadi, Nyiak! Tidak lama lagi, kita akan mengikuti pemiliha umum,” imbuh Cucu.

“Ya, saya tahu. Saya sudah ikut pemilu 1955 dan pemilu 1971. Mungkin, samalah maksudnya dengan pemilu kali ini, bukan!? Kalau menurut saya, kenapa kita harus berpemilu. Memilih wakil rakyat yang akan memilih presiden/wakil residen. Berapa banyak uang dihabiskan demokrasi. Tidakkah sebaiknya uang sebanyak itu digunakan meningkatkan kesejahteraan rakyat!?”

MENJELANG berangkat bersama isteri ke tempat pemungutan suara (TPS) di seberang jalan Adinegoro, pada pagi hari tanggal 9 April lalu, Kelurahan Ganting, tak jauh dari komplek Taman Bunga Residence — di mana ia tinggal, Cucu Magek Dirih kembali terkenang dengan dialog dengan inyiaknya. Inyiak Magek yang tak bersekolah, tapi, dipandang warga sekampung/senagari sebagai bijak-bestari dan arif bijaksana. Jadi tempat bertanya bilamana hendak berbuat apa saja. Cucu Magek Dirih muda, sejak masih kelas satu PGA Negeri 4 Tahu Padang sampai sudah mahasiswa selalu menyempatkan dirinya bertanya apa saja pada inyiaknya. Dan, Magek Dirih pula bersenanghati menjawab pertanyaan cucunya itu.

Menjelang pemilu 1977, Idris Magek mempertanyakan pada cucunya tentang penyelenggaraan pemilu yang menghabiskan uang yang sangat banyak. Padahal negara masih susah. Lagi pula, Idris Magek tidak suka dengan cara-cara orang politik yang cenderung mudah berjanji. Saat pemilu 1955 saja sudah banyak orang politik yang tidak disukai Idris Magek — terutama yang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Menjelang pemilu 1972 itu pula ada kesan umum, orang politik yang berusaha mempengaruhi rakyat — di antaranya sampai menakut-nakuiti dan membujuk dengan memberikan sesuatu.

Kalau selama Orde Baru pemilu memilih para wakil rakyat di parlemen. Dan, wakil rakyat di DPR-RI ditambah wakil rakyat yang diangkat/ditunjuk presiden menjadi MPR-RI, antara lain memilih presiden/wakil presiden. Nah, ketika Cucu menyebut, bahwa suatu saat kelak, seluruh rakyat seharusnya memilih langsung presiden/wakil presiden karena bentuk seperti itu yang demokratis. Rakyat memilih presiden/wakil presiden secara langsung di samping rakyat memilih wakil-wakil rakyat. Karena itu, menurut Magek waktu itu, bahwa bilamana demikian alangkah mahal pemilu. Ada pemilu memilih wakil rakyat, ada pula pemilu memilih presiden/wakil presiden — apalagi memilih presiden sampai dua kali.

Waktu itu Cucu Magek Dirih tidak mempunyai jawaban tentang betapa besar biaya yang dibelanjakan untuk keperluan pemilu. Betapa mahal harga demokrasi. Setelah mencermati penyelenggaraan pemilu 2009, barulah Cucu Magek Dirih menyadari apa yang pernah disangka Idris gelar Magek, inyiaknya. Biaya penyelenggaraan pemilu legislatif (Pileg) 2009, ditambah biaya penyelenggaraan pemilu presiden/wakil presiden (Pilpres). Apalagi Pilpres sampai dua kali putaran karena pada putaran pertama tidak ada calon presiden/calon wakil presiden yang mencapai 50 persen lebih dukungan rakyat pemilih.

Dalam keadaan bangsa Indonesia belum sepenuhnya pulih dari resesi ekonomi 1998 — diperberat pula oleh krisis ekonomi global yang diperkirakan akan semakin menekan sampai tahun 2010 nanti, kita membelanjakan dana yang amat sangat besar untuk biaya pemilu — sungguh harga demokrasi sangat mahal. Apatah penyelenggaraan tidak berkenan dan nyaman bagi beberapa pihak, maka biaya yang amat sengat besar itu terasa semakin besar — demokrasi terasa semakin mahal.

SESUNGGUHNYA, Cucu Magek Dirih cukup paham: no point return untuk demokrasi (Barat) di mana siapa yang menang berdasarkan jumlah suara terbanyak (50+1). Pemilu adalah ejawantah kedaualatan rakyat. Ejawantah kedaulatan rakyat adalah demokrasi. Bentuknya yang paling jelas adalah penyelenggaraan Pileg dan Pilpres. Kita menerima pokok pikirannya. Yang menimbulkan kegalauan adalah penyelenggaraan Pileg dan Pilpres yang terasa tidak cukup demokratis. Sementara biaya peneyelenggaraannya amat sangat besar. Sementara keadaan bangsa kita masih dalam kesulitan sebagai ekor dari resesi ekonomi 1998 — lalu ditambah pula dampak krisis ekonomi global.

*Penulis adalah Wartawan Senior dan Disebut Cucu Magek Dirih


Kepemimpinan (Masa Lalu), Masa Kini, dan Masa Datang
Artikel Politik http://www.padang-today.com/img/ar.gif Rabu, 16/02/2011 - 12:41 WIB http://www.padang-today.com/img/ar.gif Oleh : H Sutan Zaili Asril http://www.padang-today.com/img/ar.gif 7048 klik
BERBICARA tentang kepemimpinan, dari kata kerja pimpin-memimpin, dan pemimpin (orang yang melakukan pekerjaan memimpin – dalam bahasa Arab disebut paa’il) atau pimpinan (para pemimpin dalam saru kesatuan format pengurus/dewan/board, serta kepemimpinan adalah kata benda bentukan (gerand) menerangkan keseluruhan dari perbuatan pimpin-memimpin (dalam bahasa Arab berada pada posisi dzharaf, yaitu menerangkan keadaan yang tengah berlangsung dan atau direncanakan dan atau diharapkan akan berlangsung).

Mudahnya – karena kita berbicara tentang Latihan Dasar Kepemimpinan, mengenal aspek/dimensi dari perbuatan pimpin-memimpin dan pemimpin-pimpinan-kepemimpinan (kepimpinan), dapat memperhatikan posisi pemimpin itu dalam konteks: keluarga (suami atau ayah); instansional atau pemerintahan (kepala dinas/badan/kantor dan seterusnya, kepala daerah -- gubernur/bupati/walikota/desa, kepala pemerintahan dan kepala negara), organisasi-organisasi sosial politik dan atau kemasyaraatan (ketua); dalam badan usaha seperti perseroan (manajer/direksi dan seterusnya); dan di tengah masyarakat – termasuk masyarakat suku dan bangsa (lebih menonjol aspek/dimensi/sosok ketokohannya).

Lalu, berbicara pemimpin, sebaiknya juga menekankan kriteria dan persyaratan; kelayakan dan tanggungjawab pemimpin, misalnya. Pun kesiapan pemimpin menghadapi realitas dan tantangan, kemampunan (kapasitas/kapabilitas/mengorganisasikan atau manajerial), selalu berada di tengah masyarakatnya, berdiri dan atau mengambil posisi di mana masyarakatnya memandang masalah dihadapi, dan memecahkan masalah dihadapi bersama masyarakat, serta membayangkan masa depan/kemajuan yang hendak diujudkan kepada masyarakat yang dipimpinhya.

NAH! Kepemimpinan tergantung pada konteks, skala, ruang-waktu, dan kekhususan dari situasi dan kondisi yang wilayah dan masyaraat yang dipimpin.

Bagi warga persyarikatan Muhammadiyah, misalnya -- lebih khususnya bagi kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang jadi rujukan adalah kepemimpinan adalah Nabi Muhammad – kita menyebutnya kepemimpinan islami dengan menggali aspek/dimensi perikehidupan Nabi Muhammad dalam berkehidupannya dan dari masyarakat madaniyah (Madinah) yang dibangunnya.

Pertama, ada empat sifat dasar (siddik, amanah, fathanah, dan tabligh – sebagian ahli dikembangkan menjadi sembilan sifat utama sebagai contoh-telandan dari Nabi Muhammad).

Kedua, bagaimana keseluruhan dari perikehidupan Nabi Muhammad yang menampilkannya dalam konteks keluarganya (isteri dan anak-anaknya), tim kecil bersama beberapa sahabat (kabinet, analogi negara), dalam masyarakat terbuka – berkomunikasi/bersikap/memperlakukan warga nonmuslim pada lingkungan mayarakat muslim, dalam memperkenalkan Islam dan mengkomunikasikan serta mengajak beberapa pemimpin kerajaan di Jazirah Arab dan Afrika Utara menerima agama Islam (dimensi pergaulan antarnegara/bangsa – international relations).

Ketiga, secara khusus tentang masyarakat madaniyah (madani/masyarakat Madinah) – dipuji para inelektual Barat sebagai masyarakat paling maju/terbuka/demokratis yang pernah ada disebut civil society -- (seperti dikatakan Amstrong) bahkan dibandingkan negara kampiun demokrasi Amerika Serikat pun) yang dibangun Nabi Muhammad. Kita dapat dengan mudah mencuplik kehadiran sosok pribadi/personality dan kepemimpinan Nabi Muhammad dalam damai dan dalam perang pun, yang kita saripati menjadi strategi dan pendekatan dalam konteks kekinian.

Memang, tantangannya, juga perlu membahas dan mendalami bagi keperluan aplikasi kepemimpinan. Tidak saja dalam hal sosok dan pribadi beserta contoh/keteladanan dari Nabi serta keseluruhan perikehidupannya (perkataan/perbuatan/pernyataan--hadits), tapi, dalam bahasa sekarang yaitu aspek dan dimensi well organised dan manajerial dalam kepemimpinan yang islami.

DALAM wawasan/perspektif kebangsaan dan kenegaraan Indonesia – bagian dari upaya menempatkan diri sebagai warga negara Indonesia, dapat pula dicermati aspek dan dimensi pemimpin/kepemimpinan di masa lalu yang singkat/dekat. Pertama, periode menjelang kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Ini perlu dicuplik karena menjelang kemerdekaan Indonesia ada investasi perjuangan yang keras – melawan penjajah dengan memerangi, dan ada investasi luar biasa dalam bentuk pendidikan dan kemasyarakatan yang luar biasa – di antaranya melahirkan generasi terdidik dan mampu memimpin/berorganisasi.

Sebagai contoh, adalah kelahiran persyarikatan atau organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah – juga beberapa organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Saya menganalogikan – dan boleh jadi tidak sepenuhnya tepat, manakala Partai Nasional Indonesia (PNI) dilarang penjajah Belanda, Mohd. Hatta mengubah nama PNI (dengan kepanjangan) menjadi Pendidikan Nasional Indonesia – sedangkan Soekarno memilih mendirikan Partindo (partai baru yang lain).

Kedua – memandang dan mencermati pemimpin dan kepemimpinan di lingkungan negara atau pemerintahan dan kepemimpinan masyarakat, di masa atau periode demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin (Orde Lama atau Presiden Soekarno), dan periode demokrasi Pancasila (rezim Orde Baru/Soeharto berkuasa), serta demokrasi Reformasi (rezim Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden), dengan segala tipikal-kesesuaian dan dengan situasi-kondisi serta penilaian/harapan masyarakat terhadap pemimpin.

Ketiga, secara dekat memandang dan mencermati kepemimpinan Orde Reformasi. Bahwa dengan kekuatan penggerak mahasiswa Indonesia (kekuatan inti) meruntuhkan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Orang Kuat Soeharto – sebagaimana halnya pada tahun 1966 angkatan muda (pelajar, mahasiswa, dan sarjana) mejatuhkan rezim Presiden Bung Karno. Yang jadi masalah, pasca revolusi 1966 dan terutama revolusi 1998, yang kembali bercokol adalah oknum-oknum/antek rezim yang dituntuhkan/berkuasa sebelumnya!?

Bangsa Indonesia, khusus elite/angkatan muda harus mampu mengambil pembelajaran dari pengalaman Revolusi 1966 yang menyerahkan pimpinan nasional kepada TNI AD, untuk mampu mencermati secara tepat dan benar rezim Orde Reformasi yang berkuasa pada saat ini.

LALU, pasca revolusi 1998 (reformasi), kita memilih ‘demokrasi Barat’ dengan semua konsekuensi logis dan implikasinya – no point return about that! Pemimpin dan kepemimpinan dalam rezim demorasi Barat dipilih langsung rakyat (demokratis) – sudah sejak semula (Maklumat X Wakil Presiden Mohd. Hatta) memilih sebagian dari demokrasi Barat dengan menganjurkan pembentukan partai dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat.

Pemilihan presiden dan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) secara langsung itu akan membawa konsekuensi dan implikasi logis sangat dalam dan luas -- belum lagi deviasi dan destorsi yang memunculkan pula masalah baru, nyaris mengganti baru hampir semua sistem dan mekanisme politik di Indonesia. Misalnya, Indonesia tak lagi menganut sistem pemilihan presiden dua tingkat: Majelis Pemusyawaratan Rakyat RI (MPR-RI) sebagai lembaga tertinggi negara selanjutnya hanya lembaga tinggi negara.

Presiden/wakil presiden dipilih secara langsung dengan ketentuan jumlah kursi atau dukungan suara minimal – bilamana tidak cukup harus berkoalisi.

Suka atau tidak suka, menerapkan pola dan sistem serta mekanisme berapa jumlah pemilih/pendukung sebagai rezim. Katakan, rezim kuantita 50+1 untuk memilih presiden – memilih pemimpin melalui rezim kuantita 50+1. Memang tekanan pada legitimasi, tapi dalam kenyataannya rezim 50+1 bukan memilih yang benar, tapi, memilih siapa yang siap untuk menjadi penguasa (pemegang otoritas kekuasaan). Jadi, “kebenaran" dari suara dukungan 50+1 bukan kebenaran sebenar-benar, tapi, kekuasaan!

Demokrasi Barat mengabaikan dan membunuh aspek/dimensi kearifan Timur. Kearifan Timur lebih menekankan kebenaran sebenar-benar (seperti dalam Islam) – tak jadi soal siapa mengatakan/dari siapa atau mana pun datangnya. Kebenaran bukan karena jumlah/berapa banyak pendukung.

Menurut (mantan Menag) Prof. Munawir Sjadzaly MA, tak ada demokrasi (kalau yang dimaksudkan demokrasi Barat) dalam Islam. Yang ada kebenaran sebenar-benar dan musyawarah!

Dengan memilih demokrasi Barat – bangsa Indonesia kini terperangkap di dalamnya – dalam beberapa hal/aspek mungkin kita belum sepenuhnya lebih Barat dari negara-negara maju sejak lama menerapkan demokrasi, mind-set (cara berpikir dan jalan pikiran) kita ikutserta menjadi bersama demokrasi Barat: perekonomian menganut aliran Barat (liberal/neoliberal) -- bagi kita bangsa Indonesia sudah berada pada psosisi no point return untuk demokrasi Barat!


SESUNGGUHNYA, kepemimpinan yang diharapkan (yang mendekati ideal) bagi kita di Indonesia – yang merupakan negara sekuler dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tersedia banyak pilihan. Masalahnya, para pemimpin muslim (secara formal beragama Islam), yang berada di berbagai kelompok dan partai serta organisasi kemasyarakatan di berbagai lahan/wilayah berkegiatan lainnya, cenderung imperior – bahkan mungkin dihinggapi phobi Islam. Seakan, kalau sebagai pemimpin beragama Islam merasa/takut akan “direndahkan” dan atau “dipandang rendah” dan atau akan “disudutkan”/”dieliminasi dalam kelopoknya. Mungkin mereka takut, menonjolkan kemuslimannya akan menghalang atau menghambat peluang atau karirnya. Karena itu, menjadi sekuler lebih baik. Mereka pun menyebut, agama soal individu!?

Kepemimpinan islami tentu saja akan sertamerta mengacu kepada kepemimpinan Nabi Muhammad, empat – menjadi sembilan – sifat-sifat utama, kebenaran yang sebenar-benar, dan musyawarah – menemukan kebenaran (brsama). Kenapa kita para pemimpin beragama Islam merasa inperior? Kenapa gandrung dan merasa bergengsi menyebut civil society, tapi, meninggalkan Islam dan kemuslimannya? Kini justeru di Barat (sebagian negara Eropa) ada kecenderungan kuat mengkaji sistem perekonomian Islam sebagai alternatif sistem perekonomian Barat/liberal yang sudah terbukti gagal dan bangkrut!?

Tentu kita mengadaptasi kepemimpinan islami dan meggunakan bahasa terpelajar di dalam mengartikulasikan -- di Indonesia dilakukan M. Syafei Antonio dalam hal manajemen dan keuangan/perakan. Kepemimpinan harus memenuhi keriteria/kelayakan dan bertanggungjawab. Harus dirumuskan apa saja kriteria dan kelayakan serta tangungjawab pemimpin sesuai wilayah kekuasaan dan masyarakat bangsa -- seperti apa/bagaimana yang dipimpinnya, misalnya. Dalam hal ini harus diterima aksioma: kepemimpinan tidak berlaku otomatis sama, tapi, disesuaikan dengan berbagai hal sesuai situasi-kondisi dan kebutuhan. Dalam kepemimpinan islami, pemimpin berada di tengah masyarakatnya, berdiri di mana masyarakat memandang masalah dihadapi, dan mencari pemecahan (solusi) masalah bersama masyarakatnya.

Dengan demikian, kepemimpinan yang islami harus mampu menghadapi dan menguasai masalah realitas obyektif dengan segala problematiknya, dengan kapasitas yang ada padanya – dibantu kekuatan intelektual yang ia percayai -- menemukan pilihan pemikiran/tindakan cerdas dan tepat (baik melakukan perubahan/perbaikan terhadap masalah berkaitan dengan realitas obyektif -- apalagi menggali dan mengembangkan berbagai potensi yang ada di wilayah atau pada masyarakatnya), dan untuk membawa masyarakatnya pada kemajuan. Salah satu keunggulan diharapkan terhadap pemimpin adalah kemampuan memandang masa depan/kemajuan dan berusaha menghadirkan atau memperepat kehadiran masa depan/kemajuan itu bagi masyaraatnya.

AKHIRNYA – sebagai penutup, dapat dikemukakan satu aksentuasi yang mungkin tidak tajam: pertama, bahwa sesungguhnya kita warga negara Indonesia yang beragama Islam mempunyai sumber rujukan/referensi tentang kepemimpinan islami dalam kitab suci al-Qoran dan pada semua perikehidupan nabi (al-hadits) – perkara lain bila para “pemimpin beragama Islam” inperior atau justeru tidak mempercayai dan atau bahkan takut peluangnya akan mengecil bilamana menampilkan kemuslimannya.

Kedua, bahwa sesungguhnya warga negara Indonesia yang beragama Islam selayaknya mempercayai acuan masyarakat madaniyah/masyarakat madani (civil society) sebagai fakta sejarah yang diakui dunia untuk jadi rujuk dalam berkehidupan bersama yang tertib di dalam lindungan Islam – juga menerima dan melindungi kehadiran saudara beragama nonmuslim sebagai saudara -- saudara sebangsa, misalnya. Bahkan, tidak sekedar hidup berdampingan, tapi, juga mempercayakan urusan kepada mereka -- sebagaimana Nabi Muhammad mempercayakan kepada warga Madina nonmuslim memangku jabatan/mengurus urusan warga Madina dan wilayah Islam secara keseluruhan.

Ketiga, bagi warga negara beragama Islam, sesungguhnya: dasar negara Pancasila; konstitusi Undang-undang Dasat (UUD) 1945 – walau diamandemen; format bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan kemajemukkan suku-bangsa Indonesia (bhieneka tunggal ika), sudah final. Sesungguhnya, dari rapat-rapat BPUPKI dan kemudian PPKI serta Tim Sembilan, sudah menyelesaikan dan atau menfinalkan Piagam Jakarta sebagai pernyataan kemerdekaan. Artinya, sebagaimana hal dengan masyarakat madaniyah/Madinah (civil society), ketika Piagam Jakarta selesai dirumuskan sebagai pernyataan kemerdekaan Indonesia -- yang dikemukakan sendiri oleh Bung Karno hasil kerja dari Tim Sembilan, umat Islam di Indonesia sebagai warga-negara terbanyak akan/harus menjamin kehidupan dan hak/kewajiban warga negara nonmuslim!

Keempat, kewajiban para pemimpin – khususnya yang bergama Islam -- memperkuat ke dalam, katakan persyarikatan Muhammadiyah. Pemimpin/elite/kader di Muhammadiyah, misalnya, harus memperkuat pengetahuan dan penguasaan terhadap keunggulan nalai-nilai kemusliman – dalam berbagai aspek, dan dalam kemasyarakatan/berorganisasi, setidaknya yang ernah ditunjukkan Nabi Muhammad dalam semua perikehidupannya dan contoh masyarakat Madinah. Apabila ada masalah bangsa, posisi warga Muhammadiyah sebagai warga negara Indonesia, harus mengontrol dan memberi solusi – jangan herpangku tangan dan atau menyalahkan.

Kelima, dalam hal keberadaan dan peran generasi muda – juga IMM sebagai generasi muda bangsa Indonesia – sebagai calon pemimpin di masa datang, mungkin sebaiknya tidak hanya menyalahkan apa keburukan/kebobrokan yang berlaku, tapi, mengambil pembelajaran (hikmah) agar kelak para kader generasi muda Muhammadiyah mampu meningkatkan kiprah persyarikatan Muhammadiyah tidak hanya ke dalam, tapi, juga ke luar persyarikatan – setidaknya bagi bangsa Indonesia.***

Payakumbuh, 14/2/2011
H. Sutan Zaili Asril


*) Disampaikan pada Latihan Kepemimpinan Dasar (LDK) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) se-kota Payakumbuh dan kabupaten Limapuluhkota, di Payakumbuh, Senin, 14 Februari 2011

**) Sutan Zaili Asril:
COO RPMG Dirve Padang merangkap COO JRPTVG Dirve Padang (Harian Pagi Padang Ekspres Group); Direktur Utama PT Padang Intermedia Pers (Penerbit Harian Pagi Padang Ekspres dan (untuk sementara) Harian Umum Rakyat Sumbar Utara di Bukittinggi; Direktur Utama PT Padang Media Televisi (stasiun TV swasta lokal Padang TV); Direktur Utama PT Triarga Media Televisi(stasiun TV swasta lokal Triarga TV); Direktur Utama PT Minang Alammedia Nusantara (Majalah SAGA, tabloid pelajar P’Mails, dan Padang Ekspres Edisi Rantau); Direktur Utama PT Padang Ruangmedia Informatika (newsportal plus www.padang-today.com, dan jasa ICT/ISP); Direktur Utama PT Padang Media Link (jasa Teknologi Informatika dan Multimedia); Direktur Utama PT Padang Mutijasa Konsultan (konsultan TeknoIogi Informatika dan Multimedia); Direktur Utama PT Padang Ruang Kreatif Promosi (jasa EO, dll.);
Direktur Utama PT Padang Mitra Utama (aneka usaha); Komisaris Utama PT Posmetro Padang Pers (Penerbit Posmetro Padang); Komisasris Utama PT Padang Graindo Mediatama (Percetakan Pers Graindo Padang); Komisaris Utama PT Padang Multi Karya; Komisaris PT Grafika Jaya Sumbar; Ketua Badan Pengurus Yayasan Alam Takambang Jadikan Guru; Pendiri/Pembina SIS. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar